KAJIAN FIQIH KITAB SHALAT (SHALAT ISTIKHARAH)

salam ku STOLANG di baca sampai selesai yaaaa., siapa tau ber manfaat.

Kejujuran adalah kunci keberkahan. Kalau kejujuran sudah hilang di tengah-tengah masyarakat, keberkahannya pun akan hilang pula. Dan, apabila keberkahan sudah hilang, kehidupan menjadi kering, hampa tanpa makna.

Kehidupan diwarnai dengan kegelisahan, kekhawatiran, ketakutan, kecemasan, dan kekecewaan karena sulit mencari manusia yang jujur.

Anas RA berkata, "Dalam hampir setiap khutbahnya, Nabi SAW selalu berpesan tentang kejujuran. Beliau bersabda, 'Tidak ada iman bagi orang yang tidak jujur. Tidak ada agama bagi orang yang tidak konsisten memenuhi janji'."

Kalau seseorang itu beriman, mestinya ia yang jujur. Kalau tidak jujur, berarti tidak beriman. Kalau orang rajin shalat, mestinya juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti sia-sialah shalatnya. Kalau orang sudah berzakat, mestinya ia juga jujur. Kalau tidak jujur, berarti zakatnya tidak memberi dampak positif bagi dirinya.


Yang pertama, Nabi mengajarkan shalat istikharah dalam setiap perkara / urusan. Jadi tidak benar ada anggapan bahwa shalat istikharah hanya dilakukan terbatas untuk urusan yang meragukannya, sehingga ia perlu melakukan shalat istikharah. Karena dalam bahasa Arab, kata كل memiliki arti setiap / semua.
Kedua, sebagian orang salah paham dalam melaksanakan shalat istikharah. Sebagian dari mereka melakukan shalat istikharah ketika dihadapkan kepada pilihan yang sulit atau meragukannya. Padahal ini kurang tepat, karena yang tepat adalah ketika seseorang telah mantap hatinya dengan keputusan yang ia ambil dalam urusan yang dihadapinya.
Kata هَمَّ (sebagaimana yang saya lihat dalam kamus Arab-Indonesia karya Mahmud Yunus) memiliki arti berniat. Karena sebagian orang mengartikannya dengan menghadapi, padahal jika diartikan demikian, maka shalat istikharah dilakukan sebelum hati mantap dengan keputusan. Padahal shalat istikharah dilakukan saat hati telah mantap dengan keputusan.
  1. Jika seseorang telah mantap dengan suatu urusan, maka ia memohon kepada Allah, apabila urusannya tersebut baik dan diridhai oleh Allah, maka Allah akan mempermudah jalannya untuk mendapatkan perkara tersebut.
  2. Jika perkara tersebut tidaklah baik baginya, Allah akan datangkan penghalang dan pencegah baginya, sehingga ia akan dicegah untuk melaksanakan urusan tersebut.
Allah Ta’ala berfirman,
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216)
nah saya lengkapi dengan 6 sarat agar shalat bisa mnyejukkan pandangan dan menenangkan hati buat temen2 yang belum tau niiii.. 
1. IKHLAS : Bahwa faktor pendorong dan motif mendirikan shalat adalah keinginan dan kecintaan hamba kepada Allah, mencari keridhaan-Nya, memperoleh kedekatan dengan diri-Nya, menunjukkan kecintaan kepada-Nya, serta menaati perintah-Nya.
Bukan didorong oleh maksud dan tujuan duniawi. Namun, semata-mata untuk mengharapkan kesempatan melihat Wajah Allah kelak di surga karena cinta kepada-Nya, takut akan siksa-Nya, dan berharap memperoleh ampunan dan pahala dari-Nya.
2. KEJUJURAN DAN KETULUSAN : Berupaya untuk mengosongkan hati untuk Allah di dalam shalat, mencurahkan segenap kemampuan agar hati mampu menghadap Allah dan fokus di dalam shalat, serta melaksanakan shalat dengan bentuk yang paling baik dan sempurna ditinjau dari aspek lahir dan batin.
Hal ini mengingat shalat memiliki dua aspek, yaitu :
  1. Aspek lahir yang mencakup gerakan dan dzikir shalat, dan
  2. Aspek batin yang mencakup khusyu’muraqabah (merasa diawasi Allah), memfokuskan dan menghadapkan hati secara total kepada Allah di dalam shalat sehingga hati sedikit pun tidak berpaling pada selain-Nya.
Aspek batin ini layaknya ruh bagi shalat. Sementara aspek lahir laksana badan. Analoginya, jika shalat kosong dari aspek batin tersebut, maka pastilah serupa dengan suatu badan yang tidak memiliki ruh.
Apakah kita sebagai hamba tidak malu jika menghadap Allah dalam shalat dengan kondisi demikian? 
3. MENJADIKAN SHALAT NABI SEBAGAI PEDOMAN : Bersungguh-sungguh agar shalat yang dikerjakan sesuai dengan yang dituntunkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Tidak mengacuhkan berbagai bentuk inovasi gerakan dalam shalat yang diada-adakan, tidak pula memperhatikan berbagai kreasi dalam shalat yang keabsahannya tidak pernah diketahui berasal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan salah seorang sahabat beliau.
4. IHSAN :Ihsan berarti merasa dirinya diawasi Allah sehingga dia menyembah seakan-akan Allah berada di hadapannya.
Kedudukan ihsan ini merupakan pokok seluruh amalan hati. Ihsan akan melahirkan sifat malu untuk bermaksiat, memuliakan dan menghormati-Nya, takut dan cinta kepada-Nya, tunduk dan merasa hina di hadapan-Nya, memutus keraguan hati, dan memfokuskan hati dan keinginan menuju ridha Allah.
Kedekatan hamba dengan Allah sangat bergantung pada seberapa besar maqam ihsan yang terdapat pada dirinya.
Demikian juga kadar ihsan pada diri seseorang menentukan perbedaan kualitas shalat yang dikerjakan, sehingga dua orang yang mengerjakan shalat dengan bentuk qiyam, ruku’, dan sujud yang serupa namun keutamaan yang diperoleh keduanya dapat berbeda jauh seperti langit dan bumi.
5. MENGAKUI KARUNIANYA : Bersaksi bahwa segala kenikmatan bersumber dari Allah semata, karena Dia-lah yang menegakkan dirinya di kedudukan ini, membimbing, dan memberikan taufik sehingga hati dan raganya mampu berkhidmat kepada-Nya.
Seandainya bukan karena Allah, semua itu tidak akan terjadi.
Persaksian ini merupakan merupakan persaksian yang paling agung dan mendatangkan manfaat bagi hamba. Sangat bergantung pada kadar tauhid seseorang. Di mana persaksian ini semakin sempurna seiring dengan peningkatan tauhid pada diri hamba.
Salah satu manfaatnya adalah persaksian ini akan mencegah hati hamba dari sikap mengingat-ingat dan merasa bangga dengan amal yang telah dilakukan.
Ketika hamba mengakui dengan tulus bahwa Allah yang telah memberikan karunia, taufik, dan petunjuk pada dirinya, tentu dia akan tersibukkan dari mengingat-ingat dan merasa bangga terhadap amalnya.
6. SENANTIASA MERASA MEMILIKI KEKURANGAN :Betapa pun serius seorang hamba melaksanakan perintah dan mengeluarkan tenaga dengan maksimal, tetap akan ada kelalaian dan kekurangan.
Hak Allah teramat besar. Atas karunia yang telah diberikan-Nya adalah layak bagi Allah menerima ketaatan, penghambaan, dan khidmat yang lebih. Keagungan dan kemuliaan-Nya menuntut penghambaan yang layak bagi diri-Nya.
Apabila para pelayan dan pembantu para raja memperlakukan mereka dengan penuh pemuliaan, pengagungan, penghormatan, disertai rasa sungkan, takut, sehingga hati dan fisik mereka fokus pada apa yang diinginkan sang raja.
Maka tentu, Raja segala raja, Rabb langit dan bumi, lebih berhak untuk diberi perlakuan demikian bahkan dengan derajat perlakuan yang lebih tinggi.




ari Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah saw mengajari kami shalat istikharah untuk memutuskan segala perkara sebagaimana beliau mengajarkan surat al-Qur`an. Beliau bersabda, ‘Apabila salah seorang dari kalian hendak melakukan sesuatu, hendaknya dia shalat sunnah istikharah dua rakaat dan membaca doa ini,



اللهُمَّ إِنِّي أَسْتَخِيْرُكَ بِعِلْمِكَ، وَأَسْتَقْدِرُكَ بِقُدْرَتِكَ، وَأَسْأَلُكَ مِنْ فَضْلِكَ العَظِيْمِ، فَإِنَّكَ تَقْدِرُ وَلا أَقْدِرُ، وَتَعْلَمُ وَلا أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلامُ الغُيُوْبِ، اللهُمَّ إِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ خَيْرٌ لِي فِي دِيْنِي وَمَعَاشِي، وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، أَوْ قَالَ: عاَجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ، فَاقْدُرْهُ لِي، وَيَسِّرهُ لِي، ثُمَّ بَارِكْ لِي فِيْهِ، وَإِنْ كُنْتَ تَعْلَمُ أَنَّ هَذَا الأَمْرَ شَرٌّ لِي فِي دِيْنِي، وَمَعَاشِي، وَعَاقِبَةِ أَمْرِي، أَوْ قَالَ: عَاجِلِ أَمْرِي وَآجِلِهِ، فَاصْرِفْهُ عَنِّي، وَاصْرِفْنِي عَنْهُ، وَاقْدُرْ لِي الخَيْرَ حَيْثُ كانَ، ثُمَّ رَضِّنِي بِهِ.

'Ya Allah sesungguhnya aku minta pilihan yang tepat kepada-Mu dengan ilmu pengetahuanMu dan aku mohon kekuasaanMu (untuk mengatasi persoalanku) dengan kemahakuasaanMu. Aku mohon kepadaMu sesuatu dari anugerahMu yang agung, sesungguhnya Engkau Maha Kuasa, sedang aku tidak kuasa, Engkau mengetahui, sedang aku tidak mengetahuinya, dan Engkau adalah Maha mengetahui hal yang ghaib. Ya Allah, apabila Engkau mengetahui bahwa urusan ini baik dalam agamaku dan akibatnya terhadap diriku – atau Nabi bersabda, 'Di dunia atau di Akhirat'. – Maka sukseskanlah untukku, mudahkan jalannya, kemudian berikanlah berkah kepadaku. Akan tetapi apabila Engkau mengetahui bahwa persoalan ini lebih buruk bagiku dalam agama, kehidupan dan akibatnya kepada diriku – atau Nabi bersabda, 'Di dunia atau di Akhirat'. – Maka jauhkanlah persoalan tersebut dan jauhkan aku darinya, takdirkan kebaikan untukku di mana saja kebaikan itu berada, kemudian berilah kerelaanMu kepadaku'. -Beliau bersabda, “Orang yang mempunyai hajat hendaknya menyebutkan persoalannya."

Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Abu Dawud, at-Tirmidzi, an-Nasa'i dan Ibnu Majah.

Catatan

1- Istikharah dianjurkan ketika hendak melakukan sesuatu, tidak harus menunggu kebimbangan, karena hadits di atas berbunyi, “ Apabila salah seorang dari kalian hendak melakukan sesuatu.”

2- Peletak syariat tidak meminta orang yang beristikharah untuk melakukan sesuatu tertentu setelah berdoa, yang diminta hanyalah shalat dua rakaat dan mengucapkan doa ma`tsur.

3- Tidak ada dalil shahih yang menganjurkan pengulangan istikharah.

4- Istikharah tidak bersandar kepada mimpi seperti yang diyakini oleh sebagian orang, dia belum merasa mendapatkan petunjuk manakala dia belum bermimpi.

5- Lakukanlah apa yang dadamu mantap untuk melakukan setelah istikharah, jangan berpijak kepada kelapangan dadamu sebelumnya di mana di sana terdapat hawa nafsu, karena jika ini maka Anda hanya memilih nafsu bukan istikharah. Wallahu a’lam

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Masa Depan Yang Cerah

KEIKHLASAN HATI

PERTEMANAN SEJATI